Rabu, 09 Maret 2011

Perbandingan Cyberlow, Computer Crime Action

Pada penulisan ini yang berjudul Perbandingan cyberlow, computer crime action bersumber dari Browsing di Internet, kemudian saya rangkum secara singkat, jelas dan mudah dimengerti di bawah ini adalah penulisan yang saya buat.
Cyber Law:
Cyber Law adalah aspek hukum yang artinya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi aspek-aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Bisa diartikan cybercrime itu merupakan kejahatan dalam dunia internet.
Cyberlaw juga merupakan hukum yang terkait dengan masalah dunia cyber. Di Indonesia saat ini sudah ada dua Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan dunia cyber, yaitu RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi dan RUU Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik.
Beberapa orang menyebutnya Cybercrime kejahatan komputer. The Encyclopaedia Britannica komputer mendefinisikan kejahatan sebagai kejahatan apapun yang dilakukan oleh sarana pengetahuan khusus atau ahli penggunaan teknologi komputer.
Computer crime action
Undang-Undang yang memberikan untuk pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan penyalahgunaan komputer. BE IT diberlakukan oleh Seri Paduka Baginda Yang di-Pertuan Agong dengan nasihat dan persetujuan dari Dewan Negara dan Dewan Rakyat di Parlemen dirakit,dan oleh otoritas yang sama.
Cyber crime merupakan salah satu bentuk fenomena baru dalam tindakan kejahatan, hal ini sebagai dampak langsung dari perkembangan teknologi informasi. Cybercrime adalah istilah umum, meliputi kegiatan yang dapat dihukum berdasarkan KUHP dan undang-undang lain, menggunakan komputer dalam jaringan Internet yang merugikan dan menimbulkan kerusakan pada jaringan komputer Internet, yaitu merusak properti, masuk tanpa izin, pencurian hak milik intelektual, pornografi, pemalsuan data, pencurian, pengelapan dana masyarakat.
komputer sebagai diekstrak dari penjelasan Pernyataan dari CCA 1997 :
a) Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran hukum bagi setiap orang untuk menyebabkan komputer untuk melakukan apapun fungsi dengan maksud untuk mendapatkan akses tidak sah ke komputer mana materi.
b) Berusaha untuk membuatnya menjadi pelanggaran lebih lanjut jika ada orang yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam item (a) dengan maksud untuk melakukan penipuan, ketidakjujuran atau menyebabkan cedera seperti yang didefinisikan dalam KUHP Kode.
c) Berusaha untuk membuat suatu pelanggaran bagi setiap orang untuk menyebabkan modifikasi yang tidak sah dari
isi dari komputer manapun.
d) Berusaha untuk menyediakan bagi pelanggaran dan hukuman bagi komunikasi yang salah nomor, kode, sandi atau cara lain untuk akses ke komputer.
e) Berusaha untuk menyediakan untuk pelanggaran-pelanggaran dan hukuman bagi abetments dan upaya dalam komisi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada butir (a), (b), (c) dan (d) di atas.
f) Berusaha untuk membuat undang-undang anggapan bahwa setiap orang memiliki hak asuh atau kontrol apa pun program, data atau informasi lain ketika ia tidak diizinkan untuk memilikinya akan dianggap telah memperoleh akses yang tidak sah kecuali jika dibuktikan sebaliknya

Perbandingan Cyber Law (indonesia), Computer Crime Act ( Malaysia), Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)



Banyak orang yang mengatakan bahwa dunia cyber (cyberspace) tidak dapat diatur. Cyberspace adalah dunia maya dimana tidak ada lagi batas ruang dan waktu. Padahal ruang dan waktu seringkali dijadikan acuan hukum. Jika seorang warga Indonesia melakukan transaksi dengan sebuah perusahaan Inggris yang menggunakan server di Amerika.
Teknologi digital yang digunakan untuk mengimplementasikan dunia cyber memiliki kelebihan dalam hal duplikasi atau regenerasi. Data digital dapat direproduksi dengan sempurna seperti aslinya tanpa mengurangi kualitas data asilnya. Hal ini sulit dilakukan dalam teknologi analog, dimana kualitas data asli lebih baik dari duplikatnya. Sebuah salian (fotocopy) dari dokumen yang ditulis dengan tangan memiliki kualitas lebih buruk dari aslinya. Seseorang dengan mudah dapat memverifikasi keaslian sebuah dokumen. Sementara itu dokumen yang dibuat oleh sebuah wordprocessor dapat digandakan dengan mudah, dimana dokumen “asli” dan “salinan” memiliki fitur yang sama. Dunia digital memungkinkan kita memiliki lebih dari satu dokumen asli.
Seringkali transaksi yang resmi membutuhkan tanda tangan untuk meyakinkan keabsahannya. Bagaimana menterjemahkan tanda tangan konvensional ke dunia digital? Apakah bisa kita gunakan tanda tangan yang di-scan, atau dengan kata lain menggunakan digitized signature? Apa bedanya digitized signature dengan digital signature dan apakah tanda tangan digital ini dapat diakui secara hokum.
Tanda tangan ini sebenarnya digunakan untuk memastikan identitas. Apakah memang digital identity seorang manusia hanya dapat diberikan dengan menggunakan tanda tangan? Dapatkah kita menggunakan sistem biometrik yang dapat mengambil ciri kita dengan lebih akurat? Apakah e-mail, avatar, digital dignature, digital certificate dapat digunakan sebagai identitas.
Semua contoh-contoh (atau lebih tepatnya pertanyaan-pertanyaan) di atas menantang landasan hukum konvensional. Jadi, apakah dibutuhkan sebuah hukum baru yang bergerak di ruangcyber.
Kata “cyber” berasal dari “cybernetics,” yaitu sebuah bidang studi yang terkait dengan komunikasi dan pengendalian jarak jauh. Norbert Wiener merupakan orang pertama yang mencetuskan kata tersebut. Kata pengendalian perlu mendapat tekanan karena tujuannya adalah “total control.” Jadi agak aneh jika asal kata cyber memiliki makna dapat dikendalikan akan tetapi dunia cyber tidak dapat dikendalikan.
Cyberlaw di Indonesia
Inisiatif untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak terlaksana.

Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement (e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu rancangan. Nama dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, makaIndonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika Serikat.
Cyber Law di Malaysia
Lima cyberlaws telah berlaku pada tahun 1997 tercatat di kronologis ketertiban. Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik (bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Computer Crimes Act 1997 menyediakan penegakan hukum dengan kerangka hukum yang mencakup akses yang tidak sah dan penggunaan komputer dan informasi dan menyatakan berbagai hukuman untuk pelanggaran yang berbeda komitmen. Para Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti konferensi video. Berikut pada adalah Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia 1998 yang mengatur konvergensi komunikasi dan industri multimedia dan untuk mendukung kebijakan nasional ditetapkan untuk tujuan komunikasi dan multimedia industri. The Malaysia Komunikasi dan Undang-Undang Komisi Multimedia 1998 kemudian disahkan oleh parlemen untuk membentuk Malaysia Komisi Komunikasi dan Multimedia yang merupakan peraturan dan badan pengawas untuk mengawasi pembangunan dan hal-hal terkait dengan komunikasi dan industri multimedia.
Departemen Energi, Komunikasi dan Multimedia sedang dalam proses penyusunan baru undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi untuk mengatur pengumpulan, kepemilikan, pengolahan dan penggunaan data pribadi oleh organisasi apapun untuk memberikan perlindungan untuk data pribadi seseorang dan dengan demikian melindungi hak-hak privasinya. Ini to-be-undang yang berlaku didasarkan pada sembilan prinsip-prinsip perlindungan data yaitu :
• Cara pengumpulan data pribadi
• Tujuan pengumpulan data pribadi
• Penggunaan data pribadi
• Pengungkapan data pribadi
• Akurasi dari data pribadi
• Jangka waktu penyimpanan data pribadi
• Akses ke dan koreksi data pribadi
• Keamanan data pribadi
• Informasi yang tersedia secara umum.

Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Saat ini berbagai upaya telah dipersiapkan untuk memerangi cybercrime. The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) telah membuat guidelines bagi para pembuat kebijakan yang berhubungan dengan computer-related crime, di mana pada tahun 1986 OECD telah mempublikasikan laporannya yang berjudul Computer-Related Crime: Analysis of Legal Policy. Laporan ini berisi hasil survey terhadap peraturan perundang-undangan Negara-negara Anggota beserta rekomendasi perubahannya dalam menanggulangi computer-related crime tersebut, yang mana diakui bahwa sistem telekomunikasi juga memiliki peran penting dalam kejahatan tersebut.
Melengkapi laporan OECD, The Council of Europe (CE) berinisiatif melakukan studi mengenai kejahatan tersebut. Studi ini memberikan guidelines lanjutan bagi para pengambil kebijakan untuk menentukan tindakan-tindakan apa yang seharusnya dilarang berdasarkan hukum pidana Negara-negara Anggota, dengan tetap memperhatikan keseimbangan antara hak-hak sipil warga negara dan kebutuhan untuk melakukan proteksi terhadap computer-related crime tersebut. Pada perkembangannya, CE membentuk Committee of Experts on Crime in Cyberspace of the Committee on Crime Problems, yang pada tanggal 25 April 2000 telah mempublikasikan Draft Convention on Cyber-crime sebagai hasil kerjanya ( http://www.cybercrimes.net), yang menurut Prof. Susan Brenner (brenner@cybercrimes.net) dari University of Daytona School of Law, merupakan perjanjian internasional pertama yang mengatur hukum pidana dan aspek proseduralnya untuk berbagai tipe tindak pidana yang berkaitan erat dengan penggunaan komputer, jaringan atau data, serta berbagai penyalahgunaan sejenis.
Dari berbagai upaya yang dilakukan tersebut, telah jelas bahwa cybercrime membutuhkan global action dalam penanggulangannya mengingat kejahatan tersebut seringkali bersifat transnasional. Beberapa langkah penting yang harus dilakukan setiap negara dalam penanggulangan cybercrime adalah:
1. Melakukan modernisasi hukum pidana nasional beserta hukum acaranya, yang diselaraskan dengan konvensi internasional yang terkait dengan kejahatan tersebut
2. Meningkatkan sistem pengamanan jaringan komputer nasional sesuai standar internasional
3. Meningkatkan pemahaman serta keahlian aparatur penegak hukum mengenai upaya pencegahan, investigasi dan penuntutan perkara-perkara yang berhubungan dengan cybercrime
4. Meningkatkan kesadaran warga negara mengenai masalah cybercrime serta pentingnya mencegah kejahatan tersebut terjadi
5. Meningkatkan kerjasama antar negara, baik bilateral, regional maupun multilateral, dalam upaya penanganan cybercrime, antara lain melalui perjanjian ekstradisi dan mutual assistance treaties.
Ini merupakan URL sumber dari penulisan saya:
• http://maxdy1412.wordpress.com/2010/05/01/perbandingan-cyber-law-indonesia-computer-crime-act-malaysia-council-of-europe-convention-on-cyber-crime-eropa/
• http://alvin-andhika.blogspot.com/2011/03/perbandingan-cyberlaw-dengan-komputer.html

IT Audit Trail

Pada penulisan ini yang berjudul TI Audit Trail bersumber dari Browsing di Internet, kemudian saya rangkum secara singkat, jelas dan mudah dimengerti di bawah ini adalah penulisan yang saya buat.
Jejak audit atau log audit adalah urutan kronologis catatan audit, yang masing-masing berisi bukti langsung berkaitan dengan apa yang dihasilkan dari pelaksanaan suatu proses bisnis dan fungsi system.
Audit biasanya berasal dari kegiatan seperti transaksi atau komunikasi oleh individu, sistem, rekening atau badan lainnya.
Definisi audit trail adalah sebagai penunjuk catatan yang telah mengakses sistem operasi komputer dan apa yang dia telah dilakukan selama periode waktu tertentu, dalam telekomunikasi. Istilah ini berarti sebuah catatan baik akses selesai berusaha dan jasa, atau data membentuk suatu alur yang logis dan menghubungkan urutan peristiwa. Digunakan untuk melacak suatu transaksi yang telah dipengaruhi oleh isi record, dalam informasi atau keamanan komunikasi. Audit informasi berarti catatan kronologis kegiatan sistem untuk memungkinkan rekonstruksi dan pemeriksaan dari urutan peristiwa atau perubahan dalam suatu acara, dalam penelitian keperawatan. Mengacu pada tindakan mempertahankan log berjalan atau jurnal dari keputusan yang berkaitan dengan sebuah proyek penelitian, sehingga membuat jelas langkah-langkah yang diambil dan perubahan yang dibuat pada protokol asli.
Dalam akuntansi, mengacu pada dokumentasi transaksi rinci mendukung entri ringkasan buku. Dokumentasi ini mungkin pada catatan kertas atau elektronik, proses yang menciptakan jejak audit harus selalu berjalan dalam mode istimewa. Sehingga dapat mengakses dan mengawasi semua tindakan dari semua pengguna, dan user normal tidak bisa berhenti atau mengubahnya. Selanjutnya, untuk alasan yang sama. Berkas jejak atau tabel database dengan jejak tidak boleh diakses oleh pengguna normal, dalam apa yang berhubungan dengan audit trail. Itu juga sangat penting untuk mempertimbangkan isu-isu tanggung jawab dari jejak audit Anda, sebanyak dalam kasus sengketa. Jejak audit ini dapat dijadikan sebagai bukti atas kejadian beberapa, perangkat lunak ini dapat beroperasi dengan kontrol tertutup dilingkarkan. Sebuah sistem tertutup seperti yang disyaratkan oleh banyak perusahaan ketika menggunakan sistem Audit Trail, audit merupakan “sesuatu” yang dapat menyimpan data history dari kegiatan CRUD (create, retrieve, update, delete) yang dilakukan oleh user saat menggunakan aplikasi. Data yang disimpan adalah 4W :
• Who : user mana yang melakukan aksi.
• What data : table dan record mana yang menjadi “korban” dari aksi tersebut.
• What happened : aksi apa yang dilakukan, create kah? retrieve kah? update kah? atau delete?
• When : kapan aksi tersebut dilakuan.
{Media Penyimpanan}
Kejadian tersebut mesti disimpan pada media yang gampang digunakan, sebagai contoh dengan memanfaatkan tabel pada database. Kira-kira akan seperti ini struktur tabel yang akan digunakan untuk menyimpan data Audit Trails ini.



Kita juga dapat mengunduh script-nya, sedangkan dimisalkan salah satu nama tabel yang akan di-log adalah SecretData. Dengan detail atribut seperti berikut ini.






{DoddleAudit – Audit Trail fot LINQ to SQL}
Project ini sangat bermanfaat untuk membuat “audit” secara otomatis, sesuai titel dari sub-judulnya. Maka project ini ditujukan bagi pengguna LINQ to SQL, jadi bagi pengguna LINQ to SQL yang telah mempunyai LINQ to SQL Classes (DBML) tinggal menambahkan Doddle.Linq. Audit sebagai reference pada project tempat file DBML disimpan, sebagai contoh dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Kemudian modifikasi agar Base Class dari LINQ to SQL Classes adalah Doddle.Linq.Audit.LinqToSql.AuditableDataContext.



Maka akan dapat dilihat baris seperti berikut ini.




Selanjutnya dapat ditambahkan barisan kode berikut ke dalam LINQ to SQL Classes.
protected override void InsertAuditRecordToDatabase(EntityAuditRecord record)
{
AuditRecord audit = new AuditRecord();
audit.Action = (byte)record.Action;
audit.AuditDate = DateTime.Now;
audit.AssociationTable = record.AssociationTable;
audit.AssociationTableKey = record.AssociationTableKey;
audit.EntityTable = record.EntityTable;
audit.EntityTableKey = record.EntityTableKey;

audit.UserName = System.Web.HttpContext.Current.User.Identity.Name;

foreach (ModifiedEntityProperty av in record.ModifiedProperties)
{
AuditRecordField field = new AuditRecordField();
field.MemberName = av.MemberName;
field.OldValue = av.OldValue;
field.NewValue = av.NewValue;

audit.AuditRecordFields.Add(field);
}

this.AuditRecords.InsertOnSubmit(audit);
}
Terakhir adalah menambahkan method untuk mendefinisikan “tabel-tabel” mana saja yang akan di-audit, nama method tersebut adalah DefaultAuditDefinitions, dengan isi seperti berikut ini.
1: protected override void DefaultAuditDefinitions()
2: {
3: this.Organisasis.Audit();
4: }
Pada baris ke-3 dapat dilihat bahwa “tabel” yang di-audit adalah “tabel” Organisasi. Selanjutnya apabila ada “tabel-tabel” lain yang ingin di-audit tinggal menambahkan ke dalam method ini.
{Hasil}
Berikut adalah “hasil” dari audit ini, di bawah ini adalah isi dari tabel utama audit, yaitu AuditRecords.




Pada data di atas, dapat dilihat tabel apa, kapan, oleh siapa dan aksinya, aksi direpresentasikan dengan nomor dari 0-2 :
• 0, adalah aksi insert.
• 1, adalah aksi edit.
• 2, adalah aksi delete.
Sedangkan pada tabel AuditRecordField dapat detail dari tabel AuditRecords yang berisi data “sejarah” dari setiap aksi.




Sebagai contoh, apabila aksinya adalah insert maka dapat dilihat nama field yang digunakan beserta nilainya. Apabila aksi yang dilakukan adalah update, maka akan dapat dilihat nama field yang diedit, nilai lama dari field tersebut beserta nilai barunya. Sedangkan bila terjadi aksi delete maka dapat dilihat nilai dari field-field dari record yang dihapus.
Tetapi kalau diperhatikan dari tabel yang di-audit, yaitu tabel Organisasi mempunyai struktur seperti berikut.




Dapat dilihat bawah primary-key dari tabel ini yaitu OrganisasiID bertipe int/integer, bagaimana apabila tipe data dari field primary-keynya bukan integer. Jawaban dari pertanyaan ini adalah Limitations.

Any tables you want to audit must have one (and only one) Primary Key field, which is of type "int".
Depending on demand for this feature I will begin exploring ways around this, including GUID primary keys and composite keys.
Untungnya ini adalah community project yang source-codenya dapat digunakan untuk dimodifikasi sesuai kebutuhan, sampai nanti di blog selanjutnya yang akan memaparkan bagaimana memodifikasi agar tidak hanya primary-key bertipe integer saja yang dapat di-audit dengan DoddleAudit ini.

Ini merupakan URL sumber dari penulisan saya:
• http://netindonesia.net/blogs/reyza/archive/2010/09/26/aat-automatic-audit-trail.aspx
• http://www.answers.com/topic/audit-trail

UU Hak Cipta, Ketentuan Umum, Lingkup Hak Cipta, Perlindungan Hak Cipta, Perbatasan Hak Cipta Teknologi Informasi

Hak Cipta dalam Kerangka Persaingan Pasar
Keberadaan hak cipta sebagai hak ekslusif bagi para penciptanya harus dapat dihormati dan dihargai. Penemuan baru oleh peneliti atau pencipta bukan pekerjaan dalam waktu singkat, ia membutuhkan waktu lama dan biaya besar sehingga wajar hasil cipta tersebut harus dilindungi. Hasil ciptaan tersebut bahkan dapat digunakan untuk tujuan komersial dalam kegiatan bisnis yang amat menguntungkan.
John Naisbitt dan Patricia Aburdene telah meramalkan bahwa suatu saat nanti dunia yang dihuni manusia ini akan berubah menjadi suatu perkampungan global (global village) dengan pola satu sistem perekonomian atau single economy system berdasarkan permintaan/mekanisme pasar dan persaingan bebas. Mereka yang mampu survive adalah orang atau para pengusaha yang dapat menghasilkan “produk” dengan kualitas tinggi dan harga bersaing. Artinya, manusia yang berkualitas dalam era ini adalah mereka yang dianggap memiliki produk dengan “nilai jual” yang dapat diandalkan pada persaingan global, baik di pasar nasional, regional maupun internasional dengan berlakunya pasar bebas (free market) dalam perdagangan internasional.
Berkaitan dengan era pasar bebas dengan perdagangan barang dan atau jasa, bermula pada 15 April 1994 dengan tercapainya kesepakatan internasional di Maroko melalui Agreement on Establishing the World Trade Organization (WTO) yang dikenal sebagai Marrakesh Agreement. Adanya kesepakatan yang akhirnya melahirkan organisasi perdagangan dunia (WTO) ini, maka produk dari setiap orang atau negara diatur melalui mekanisme pasar yang mengutamakan kualitas barang dan atau jasa. Produk tersebut biasanya dilindungi hukum sebagai hasil rasa, karsa dan cipta manusia yang tidak bisa begitu saja untuk dilanggar. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional ikut menandatangani kesepakatan ter-sebut melalui UU No. 7 Tahun 1994 (LN Tahun 1994 No. 95 TLN No. 3564) tanggal 2 Nopember 1994 yang berlaku sebagai ius constitutum dalam konstelasi hukum nasional yang mempunyai dampak luas pada bidang lain. Konsekuensinya, semua kesepakatan itu harus ditaati dan diterapkan dengan konsisten.
Salah satu agenda penting dari WTO adalah Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods. Kesepakatan ini akhirnya melahirkan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) yang bertujuan untuk meningkatkan perlindungan di bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dari pembajakan atas suatu karya kreatif dan inovatif seseorang/kelompok orang, baik di bidang sastra, seni, teknologi dan karya ilmiah. Suatu hal yang cukup kompleks dan perlu dilakukan upaya adaptasi (penyesuai-an) terus menerus untuk dapat mengikuti dinamika perkembangan dengan perangkat hukum yang mengatur masalah baru tersebut karena sebelumnya justru tidak diatur dalam ketentuan hukum nasional. Kevakuman ini harus ditutupi dengan adanya aturan undang-undang sebagai kepastian hukum untuk mengikuti perkembangan iptek dan masyarakat internasional.
Salah satu bidang HKI adalah hak cipta (copy rights) yang merupakan hak ekslusif (khusus) bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumum-kan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 1 LTU No. 19 Tahun 2002). Ciptaan merupakan hasil setiap karya pencipta dalam bentuk khas apapun juga dalam lapangan ilmu, seni dan sastra yang menguntungkan dari segi materil, moril dan reputasi seseorang atau kelompok orang yang menghasil-kan ciptaan berdasarkan kerja keras melalui pengamatan, kajian dan penelitian secara terus menerus. Sudah sewajarnya, hasil ciptaan orang lain harus dapat dilindungi hukum dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta. la sebenarnya merupakan suatu perbuatan tidak terpuji dan tercela bahkan tidak “bermoral” oleh orang-orang tidak bertanggungjawab yang melakukannya, karena adanya”the morality that makes law possible.”
Pada kondisi ini, sudah pasti tidak dapat dihindarkan adanya kecen-derungan sebagian orang/kelompok orang yang menginginkan dengan berbagai cara untuk meneguk keuntungan finansial secara cepat tanpa usaha keras, mengeluarkan modal dan kejujuran dengan membajak hasil ciptaan orang lain ataupun mendompleng reputasi ciptaan pihak lain sehingga amat merugikan bagi para pencipta pertama. Tindakan ini sudah tentu tidak dapat dibenarkan, karena melanggar hukum sebab bukan hanya para pencipta yang sah saja merasa dirugikan, akan tetapi juga masyarakat luas mengalami kerugian besar karena memperoleh barang dan atau jasa tidak sesuai kualitas yang diharapkan. Keadaan ini dikhawatirkan dapat mengakibatkan terjadi degradasi moral dan etika dalam kehidupan masyarakat yang tidak mau menghargai kreasi intelektual pihak lain yang telah bersusah payah melahirkan ciptaannya.
Dalam pergaulan masyarakat internasional, negara-negara yang memproteksi atau membiarkan pelanggaran hak cipta tanpa adanya penindakan hukum dapat dimasukkan dalam priority watch list, karena tidak memberikan perlindungan HKI secara memadai bagi negara atau pemilik/pemegang izin ciptaan tersebut. Sanksi yang dijatuhkan dapat berupa pengucilan dalam pergaulan masyarakat internasional atau sanksi ekonomi dari produk negara itu pada transaksi bisnis internasional.
UU No. 19 Tahun 2002 yang berlaku efektif pada tanggal 23 Juli 2003 sebagai pengganti UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 1987 dan UU No. 12 Tahun 1997 diharapkan sekali menjadi a new legal framework atau perangkat hukum baru untuk mengantisipasi merebaknya pelanggaran hak cipta di tanah air oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dengan maksud untuk memperoleh keuntungan secara “bypass” atau “potong kompas” (cepat) dengan cara tercela melanggar hukum atas hak-hak orang lain. Keadaan demikian tentu akan menimbulkan masalah terhadap upaya perlindungan hukum atas pelanggaran hak cipta mengingat tidak semua orang dapat memahami-nya dengan baik.


Perkembangan dan Pembatasan Hak Cipta
Keberadaan copyright atau hak cipta semenjak tahun 1886 telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak ekslusif para pencipta. Sebagai salah satu bentuk karya intelektual yang dilindungi dalam HKI, hak cipta memiliki peran amat penting dalam rangka mendorong dan melindungi penciptaan, penyebarluasan hasil karya ilmu pengetahuan, seni dan sastra serta teknologi untuk mempercepat upaya pertumbuhan pembangunan dan kecerdasan kehidupan suatu bangsa. Keadaan ini amat disadari oleh Pemerintah Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional tahun 2000-2004 pada kegiatan pembangunan pendidikan, khususnya program penelitian, peningkatan kapasitas dan pengembangan kemampuan sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi.
Suatu ciptaan dapat memberi nilai ekonomis bagi para pencipta dan pemegang izin melalui kegiatan ekonomi, yakni penjualannya ke pasar. Upaya menghasilkan suatu ciptaan membutuhkan proses waktu, nspirasi, pemikiran dana dan kerja keras sehingga wajar hasil karya para pencipta itu harus dilindungi dari setiap bentuk pelanggaran hak cipta yang sangat merugikan para pencipta. Sebaliknya, dalam batas-batas tertentu pada ketentuan undang-undang hak cipta, hasil ciptaan seseorang dapat dibenarkan diambil orang lain dengan izin atau tanpa izin pemilik yang bersangkutan tanpa perlu takut dikategorikan sebagai pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Standar perlindungan atas HKI yang diterapkan dalam perjanjian adalah standar perlindungan minimal yang telah tertuang dalam perjanjian yang sudah ada sebelumnya yang dikembangkan pada perjanjian dan konvensi dalam naungan World Intellectual Property Organization (WIP0). Perlindungan terhadap hak cipta adalah berdasarkan pada kesepakatan The Beme Convention for the Protection of Literary and Artistic Works tanggal 9 September 1886 di Bern, Swiss. Pemerintah Belanda yang menjajah Indonesia pada tanggal 1 November 1912 memberlakukan keikutsertaannya pada Konvensi Bern melalui asas konkordansi di Hindia Belanda dengan mengeluarkan suatu Auterswet 1912 berdasarkan UU Hak Cipta Belanda pada tanggal 29 Juni 1911 (Stb Belanda No. 197). Konvensi Bern 1886 terus direvisi dan diamandir oleh negara-negara anggota WIP0. Terakhir direvisi di Paris pada tahun 1971 dan 1989.
Keikutsertaan suatu negara sebagai anggota Konvensi Bern akan menimbulkan kewajiban negara peserta untuk menerapkan dalam perundang-undangan nasional di bidang hak cipta. Lima prinsip dasar dianut Konvensi Bern adalah sebagai berikut:
Pertama, prinsip perlakuan nasional (national treatment principle), yakni ciptaan yang berasal dari salah satu peserta perjanjian atau suatu ciptaan yang pertama kali diterbitkan pada salah satu negara peserta perjanjian harus mendapat perlindungan hukum hak cipta yang sama sebagaimana diperoleh ciptaan peserta warga negara itu sendiri. Kedua, prinsip perlindungan hukum langsung/otomatis (automatic protection principle). Pemberian perlindungan hukum harus diberikan secara langsung tanpa harus memenuhi syarat apa pun (must not be conditional upon compliance with any formality). Ketiga, prinsip perlindungan independen (independent of protection principle), yakni suatu perlindungan hukum diberikan tanpa harus bergantung kepada pengaturan perlindungan hukum negara asal pencipta. Keempat, prinsip minimal jangka waktu hak cipta (minimum duration of copyright). Perlindungan diberikan minimal selama hidup pencipta ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, prinsip hak-hak moral (moral rights principle). Hak yang tergolong sebagai hak moral dimiliki pencipta seperti keberatan mengubah, menambah atau mengurangi keaslian ciptaan yang perlu mendapat pengaturan perlindungan-nya dalam hukum nasional negara peserta Konvensi Bern.
Pemerintah Indonesia menjadi anggota WTO sejak tahun 1994. Keikutsertaan ini juga membawa konsekuensi hukum harus memberla-kukan semua hasil dan prinsip dasar dari Konvensi Bern.
Hal, ini ditindak-lanjuti dengan mensahkannya melalui pembentukan Keppres RI No. 18 Tahun 1997 pada tanggal 7 Mei 1997 dan segera dinotifikasikan ke WIPO berdasarkan Keppres RI No. 19 Tahun 1997 tanggal 5 Juni 1997. Berlakunya hasil kesepakatan The Berne Convention di Indonesia, maka pemerintah harus mampu untuk melindungi ciptaan dari seluruh negara anggota peserta dan penandatangan The Berne Convention tersebut. Selain itu, Indonesia harus pula melindungi ciptaan bangsa asing yang ada di tanah air melalui kesepakatan pada perjanjian bilateral yang telah diratifikasi. Adanya perjanjian bilateral tersebut akan memberi perlindungan hukum dan rasa aman hak cipta secara timbal balik antara ciptaan bangsa kita dengan bangsa lain yang sama-sama bergabung dalam WTO, terutama
dengan berlakunya pasar bebas.
Pada persetujuan TREPs, khususnya Pasal 7 menentukan konsep dasar sasaran perlindungan dan penegakan hukum (law enforcement) terhadap HKI yang ditujukan untuk memacu penemuan baru di bidang teknologi dan untuk memperlancar alih serta penyebaran teknologi dengan tetap memperhatikan kepentingan produsen dan pengguna pengetahuan tentang teknologi dan dilakukan dengan cara yang menunjang kesejahteraan sosial dan ekonomi, dan keseimbangan antara hak dan kewajiban. Perlindungan itu didasarkan pada masalah pokok ruang lingkup berlakunya hak cipta dengan dua prinsip dasar, yakni utilitarian-non utilitarian or junctional-non functional dichotomy and idea expression dichotomy. Artinya, adanya dikotomi pada kegunaan-ketidakgunaan atau berfungsi-tidak berfungsi dan munculnya gagasan dari ciptaan tersebut.
Penjabaran dari kesepakatan internasional mengenai hak cipta yang diratifikasi oleh Indonesia terdapat pada ketentuan UU No. 19 Tahun 2002. Pada Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 menentukan ciptaan yang dapat dilindungi ialah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, sastra dan seni yang meliputi hasil karya (a) buku, program komputer, pamplet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, (b) ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu, (c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, (d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks, (e) drama atau drama musikal, tari, koreografl, pewayangan, dan pantomim, (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan (g) arsitektur, (h) peta, (i) seni batik, (j) fotografi, (k) sinematografi, dan (1) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan. Sebaliknya, pada isi Pasal 13 menentukan pula dianggap tidak ada suatu hak cipta atas (a) hasil rapat terbuka lembaga-lembaga negara, (b) peraturan perundang-undangan, (c) pidato kenegaraaan dan Pidato pejabat Pemerintah, (d) putusan pengadilan atau penetapan hakim, atau (e) keputusan badan arbitrase atau keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Setiap ciptaan seseorang, kelompok orang ataupun korporasi (badan hukum) dilindungi oleh undang-undang karena pada ciptaan itu otomatis melekat hak cipta yang seyogianya harus dapat dihormati dan dipatuhi oleh orang lain. Perlindungan hukum itu dimaksudkan agar hak pencipta secara ekonomis dapat dinikmati dengan tenang dan aman mengingat cukup lamanya diatur undang-undang waktu perlindungan tersebut. Masa berlaku perlindungan hak cipta secara umum adalah selain hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah penciptanya meninggal dunia yang dimulai sejak 1 Januari untuk tahun berikutnya setelah ciptaan tersebut diumumkan, diketahui oleh umum, diterbitkan, atau setelah penciptanya meninggal dunia (vide Pasal 34).
Setiap pencipta atau pemegang izin hak cipta bebas untuk dapat menggunakan hak ciptanya, akan tetapi undang-undang menentukan pula adanya pembatasan terhadap penggunaan hak cipta itu. Pembatasan tersebut dimaksudkan supaya para pencipta dalam kegiatan kreatif dan inovatifnya tidak melanggar norma-nonna atau asas kepatutan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, terutama di negara hukum seperti Indonesia mengingat hasil ciptaan umumnya akan dijual ke pasar (dalam dan luar negeri) untuk memperoleh keuntungan ekonomis bagi para pencipta atau pemegang izin guna dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Oleh karena sudah ditentukan pembatasan oleh ketentuan undang-undang, maka kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pembatasan tersebut. Apabila pembatasan tersebut dilanggar oleh pencipta dan pemegang izin hak cipta, maka pencipta akan memperoleh sanksi hukum.
Adapun pembatasan penggunaan hak cipta yang tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dapat dibagi dalam tiga hal:
Pertama, kesusilaan dan ketertiban umum. Keterbatasan penggunaan hak cipta tidak boleh melanggar pada kesusilaan dan ketertiban umun. Contoh hak cipta yang melanggar kesusilaan adalah penggunaan hak untuk mengumumkan atau memper-banyak kalender bergambar wanita/pria telanjang, kebebasan seks atau pomografi, sedangkan termasuk melanggar ketertiban umum adalah memperbanyak dan menyebarkan buku yang berisi ajaran yang membolehkan wanita bersuami lebih dari satu (poliandri).
Kedua, fungsi sosial hak cipta. Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan/mengurangi fungsi sosial dari pada hak cipta. Fungsi sosial hak cipta adalah memberi kesempatan kepada masyarakat luas untuk memanfaatkan ciptaan itu guna kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, bahan pemecahan masalah, pembela-an perkara di pengadilan, bahan ceramah dengan menyebutkan sumbernya secara lengkap.
Ketiga, pemberian lisensi wajib. Kebebasan penggunaan hak cipta tidak boleh meniadakan kewenangan dari negara untuk mewajibkan pencipta/pemegang hak cipta memberikan lisensi (compulsory licensing) kepada pihak lain untuk menerjemahkan atau memperbanyak hasil ciptaannya dengan imbalan yang wajar. Pemberian lisensi wajib didasarkan pada pertimbangan tertentu, yakni bila negara meman-dang perlu atau menilai suatu ciptaan sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat dan negara, misalnya untuk tujuan pendidikan, pengajaran, ilmu pengetahuan, penelitian, pertahanan, keamanan, dan ketertiban masyarakat yang membutuhkan pemakaian ciptaan tersebut.

Pembatasan penggunaan hak cipta adalah sebagai upaya keseimbangan hak antara pencipta dengan kepentingan masyarakat. Artinya, penggunaan hak cipta oleh pencipta diharapkan akan mewujudkan pula keadilan dalam kehidupan bermasyarakat.
Bentuk-bentuk Pelanggaran Hak Cipta
Umumnya pelanggaran hak cipta didorong untuk mencari keuntungan finansial secara cepat dengan mengabaikan kepentingan para pencipta dan pemegang izin hak cipta. Perbuatan para pelaku jelas melanggar fatsoen hukum yang menentukan agar setiap orang dapat mematuhi, menghormati dan menghargai hak-hak orang lain dalam hubungan keperdataan termasuk penemuan baru sebagai ciptaan orang lain yang diakui sebagai hak milik oleh ketentuan hukum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi warga masyarakat untuk melanggar HKI menurut Parlugutan
Lubis antara lain adalah sebagai berikut:
1) pelanggaran HKI dilakukan untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keun-tungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut;
2) para pelanggar menganggap bahwa sanksi hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tindakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh para penegak hukum;
3) ada sebagian warga masyarakat sebagai pencipta yang bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun hal ini sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum terhadap HKI;
4) dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah; dan
5) masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu (aspal), yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau dengan kemampuan ekonomi.
Dampak dari kegiatan tindak pidana hak cipta tersebut telah sedemikian besarnya merugikan terhadap tatanan kehidupan bangsa di bidang ekonomi, hukum dan sosial budaya. Di bidang sosial budaya, misalnya dampak semakin maraknya pelanggaran hak cipta akan menimbulkan sikap dan pandangan bahwa pembajakan sudah merupakan hal yang biasa dalam kehidupan masyarakat dan tidak lagi merupakan tindakan melanggar undang-undang (wet delicten). Pelanggaran hak cipta selama ini lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang (developing countries) karena ia dapat memberikan keuntungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi para pelanggar (pembajak) dengan memanfaatkan kelemahan sistem pengawasan dan pemantauan tindak pidana hak cipta.
Harus diakui, upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran hak cipta selama ini belum mampu membuat jera para pembajak untuk tidak mengulangi perbuatannya, karena upaya penanggulangannya tidak optimal.
Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta antara lain berupa pengambilan, pengutipan, perekaman, pertanyaan dan pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apa pun tanpa izin pencipta/pemegang hak cipta, bertentangan dengan undang-undang atau. melanggar perjanjian.
Dilarang undang-undang artinya undang-undang hak cipta tidak memperkenan-kan perbuatan itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, karena tiga hal, yakni:
(1) merugikan pencipta/pemegang hak cipta, misalnya mem-foto kopi sebagian atau selurulnya ciptaan orang lain kemudian dijual/belikan kepada masyarakat luas;
(2) merugikan kepentingan negara, misalnya mengumumkan ciptaan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan atau;
(3) bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, misalnya memperbanyak dan menjual video compact disc (vcd) pomo.
Melanggar perjanjian artinya memenuhi kewajiban tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang telah disetujui oleh kedua belah pihak, misalnya dalam perjanjian penerbitan karya cipta disetujui untuk dicetak sebanyak 2.000 eksemplar, tetapi yang dicetak/diedarkan di pasar adalah 4.000 eksemplar. Pembayaran royalti kepada pencipta didasarkan pada perjanjian penerbitan, yaitu 2.000 eksemplar bukan 4.000 eksemplar. Ini sangat merugikan bagi pencipta.
Pelanggaran hak cipta menurut ketentuan Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) pada tanggal 15 Pebruari 1984 dapat dibedakan dua jenis, yakni :
(1) mengutip sebagian ciptaan orang lain dan dimasukkan ke dalam ciptaan sendiri seolah-olah ciptaan sendiri atau mengakui ciptaan orang lain seolah-olah ciptaan sendiri. Perbuatan ini disebut plagiat atau penjiplakan (plagiarism) yang dapat terjadi antara lain pada karya cipta berupa buku, lagu dan notasi lagu, dan
(2) mengambil ciptaan orang lain untuk diperbanyak dan diumumkan sebagaimana yang aslinya tanpa mengubah bentuk isi, pencipta dan penerbit/perekam. Perbuatan ini disebut dengan piracy (pembajakan) yang banyak dilakukan pada ciptaan berupa buku, rekaman audio/video seperti kaset lagu dan gambar (vcd), karena menyangkut dengan masalah a commercial scale.

Pembajakan terhadap karya orang lain seperti buku dan rekaman adalah salah satu bentuk dari tindak pidana hak cipta yang dilarang dalam undang-undang hak cipta. Pekerjaannya liar, tersembunyi dan tidak diketahui orang banyak apalagi oleh petugas penegak hukum dan pajak. Pekerjaan tersembunyi ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari penangkapan pihak kepolisian. Para pembajak tidak akan mungkin menunaikan kewajiban hukum untuk membayar pajak kepada negara sebagaimana layaknya warga negara yang baik. Pembajakan merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan iptek di bidang grafika dan elektronika yang dimanfaatkan secara melawan hukum (illegal) oleh mereka yang ingin mencari keuntungan dengan jalan cepat dan mudah.
Pasal 72 UU No. 19 Tahun 2002 menentukan pula bentuk perbuatan pelanggaran hak cipta sebagai delik undang-undang (wet delict) yang dibagi tiga kelompok, yakni :
(1) Dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan, memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain melanggar larangan untuk mengumumkan, memperbanyak atau memberi izin untuk itu setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijak-sanaan pemerintah di bidang pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan dan ketertiban umum;
(2) Dengan sengaja memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang-barang hasil pelanggaran hak cipta. Termasuk perbuatan pelanggaran ini antara lain penjualan buku dan vcd bajakan;
(3) Dengan sengaja dan tanpa hak memperbanyak penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program komputer.
Dari ketentuan Pasal 72 tersebut, ada dua golongan pelaku pelanggaran hak cipta yang dapat diancam dengan sanksi pidana. Pertama, pelaku utama adalah perseorangan maupun badan hukum yang dengan sengaja melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang. Termasuk pelaku utama ini adalah penerbit, pembajak, penjiplak dan pencetak. Kedua, pelaku pembantu adalah pihak-pihak yang menyiarkan, memamerkan atau menjual kepada umum setiap ciptaan yang diketahuinya melanggar hak cipta atau melanggar larangan undang-undang hak cipta. Termasuk pelaku pembantu ini adalah penyiar, penyelenggara pameran, penjual dan pengedar yang menyewakan setiap ciptaan hasil kejahatan/pelanggaran hak cipta atau larangan yang diatur oleh undang-undang.
Kedua golongan pelaku pelanggaran hak cipta di atas, dapat diancam dengan sanksi pidana oleh ketentuan UU No. 19 tahun 2002. Pelanggaran dilakukan dengan sengaja untuk niat meraih keuntungan sebesar-besanya, baik secara pribadi, kelompok maupun badan usaha yang sangat merugikan bagi kepentingan para pencipta.
Pengaturan Perlindungan Hukum Hak Cipta
Barang-barang yang diproduksi palsu dan dijual ke pasar, selain merugikan bagi penerimaan royalti para pencipta juga mengurangi pendapatan pajak negara dan penurunan kualitas barang yang dapat dinikmati oleh masyarakat konsumen. Kerugian ini jelas harus ditanggulangi dengan melakukan penegakan hukum atas pelanggaran hak cipta tersebut sehingga dapat tercipta perlindungan yang diharapkan oleh semua pihak, terutama para pencipta/pemegang izin. Daya kreatif dan inovatif para pencipta akan mengalami penurunan, jika pelanggaran hak cipta terus berlangsung tanpa ada penegakan hukum yang memadai dengan menindak para pelakunya. Negara melalui aparat penegak hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung harus bertanggung jawab dengan adanya peristiwa ini dengan berupaya keras melakukan penang-gulangan merebaknya pelanggaran hak cipta. Apabila tidak ada penegakan hukum yang konsisten terhadap para pelanggar, maka akan sulit terwujudnya suatu perlindungan hukum terhadap hak cipta yang baik. Masalah ini telah menjadi tuntutan masyarakat internasional terhadap bangsa dan negara Indonesia yang dinilai masih rendah untuk menghargai HAKI.
Pengaturan standar minimum perlindungan hukum atas ciptaan-ciptaan, hak-hak pencipta dan jangka waktu perlindungan dalam Konvensi Bern adalah sebagai berikut. Pertama, ciptaan yang dilindungi adalah semua ciptaan di bidang sastra, ilmu pengetahuan dan seni dalam bentuk apa pun perwujudannya. Kedua, kecuali jika ditentukan dengan cara reservasi, pembatasan atau pengecualian yang tergolong sebagai hak-hak ekslusif seperti (a) hak untuk menerjemahkan, (b) hak mempertun-jukkan di muka umum ciptaan drama musik dan ciptaan musik, (c) hak mendeklamasikan di muka umum suatu ciptaan sastra, (d) hak penyiaran, (e) hak membuat reproduksi dengan cara dan bentuk perwujudan apa pun, (f) hak menggunakan ciptaannya sebagai bahan untuk ciptaan, dan (g) hak membuat aransemen dan adapsi dari suatu ciptaan.
Selain hak-hak ekslusif di atas, Konvensi Bern juga mengatur sekumpulan hak yang dinamakan dengan hak-hak moral (moral rights). Hak moral adalah hak pencipta untuk mengklaim sebagai pencipta atas suatu hasil ciptaan dan hak pencipta untuk mengajukan keberatan-keberatan terhadap setiap perbuatan yang bermaksud untuk mengubah, mengurangi atau menambah keaslian ciptaan, yang akan dapat meragukan kehormatan dan reputasi pencipta pertama.
Hak moral seorang pencipta menurut pendapat A. Komen dan D.WS Verkade mengandung empat makna. Pertama, hak untuk melakukan atau tidak melakukan pengumuman ciptaannya. Kedua, hak untuk melakukan perubahan-perubahan yang dianggap perlu atas ciptaannya, dan hak untuk menarik dari peredaran ciptaan yang telah diumumkan kepada publik.
Ketiga, hak untuk tidak menyetujui dilakukannya perubahan-perubahan atas ciptaannya oleh pihak lain. Keempat, hak untuk mencantum-kan nama pencipta, hak untuk tidak menyetujui setiap perubahan atas nama pencipta yang akan dicantumkan, dan hak untuk mengumumkan sebagai pihak pencipta setiap waktu yang diinginkan. Hak ini mempunyai kedudukan sejajar dengan hak ekonomi yang dapat dimiliki seorang pencipta atas suatu hasil ciptaannya.
Perlindungan hukum merupakan upaya yang diatur dalam undang-undang untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta oleh orang-orang yang tidak berhak. Apabila terjadi pelanggaran, maka pelang-garan itu harus diproses secara hukum, dan bilamana terbukti melakukan pelanggaran akan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan undang-undang hak cipta. UU No. 19 Tahun 2002 mengatur jenis-jenis perbuatan pelanggaran dan ancaman hukumannya, baik secara perdata maupun pidana. UU ini memuat sistem deklaratif (first to use system), yaitu perlindungan hukum hanya diberikan kepada pemegang/pemakai pertama atas hak cipta. Apabila ada pihak lain yang mengaku sebagai pihak yang berhak atas hak cipta, maka pemegang/pemakai pertama harus membuktikan bahwa dia sebagai pemegang pemakai pertama yang berhak atas hasil ciptaan tersebut. Sistem deklaratif ini tidak mengharus-kan pendaftaran hak cipta, namun pendaftaran pada pihak yang berwenang (cq Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Depkeh RI) merupakan bentuk perlindungan yang dapat memberikan kepastian hukum atas suatu hak cipta.
Apakah suatu perbuatan merupakan pelanggaran hak cipta, harus dapat dipenuhi unsur-unsur yang penting berikut ini. Pertama, larangan undang-undang. Perbuatan yang dilakukan oleh seorang pengguna hak cipta dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Kedua, izin dan persetujuan (lisensi). Penggunaan hak cipta dilakukan tanpa persetujuan dari pemilik atau pemegang izin hak cipta. Ketiga, pembatasan undang-undang. Penggunaan hak cipta tidak melampaui pada batas-batas ketentuan yang telah ditetapkan undang-undang. Keempat, jangka waktu. Penggunaan hak cipta dilakukan dalam jangka waktu perlindungan tertentu yang telah ditetapkan oleh undang-undang atau berdasarkan pernjanjian tertulis (lisensi).
Perlindungan hukum terhadap hak cipta merupakan suatu sistem hukum yang terdiri dari unsur-unsur sistem berikut. Pertama, subyek perlindungan. Subyek yang dimaksud adalah pihak pemilik atau pemegang hak cipta, aparat penegak hukum, pejabat pendaftaran dan pelanggar hukum. Kedua, obyek perlindungan. Obyek yang dimaksud adalah semua jenis hak cipta yang diatur dalam undang-undang. Ketiga, pendaftaran perlindungan. Hak cipta yang dilindungi hanya yang sudah terdaftar dan dibuktikan pula dengan adanya sertifikat pendaftaran, kecuali apabila undang-undang mengatur lain. Keempat, jangka waktu. Jangka waktu adalah adanya hak cipta dilindungi oleh undang-undang hak cipta, yakni selama hidup ditambah 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Kelima, tindakan hukum perlindungan. Apabila terbukti terjadi pelanggaran hak cipta, maka pelanggar harus dihukum, baik secara perdata maupun pidana.
Setiap pelanggaran hak cipta akan merugikan pemilik/pemegangnya dan/atau kepentingan umum/negara. Pelaku pelanggaran hukum tersebut harus ditindak tegas dan segera memulihkan kerugian yang diderita oleh pemilik/pemegang hak atau negara. Penindakan atau pemulihan tersebut diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002. Penindakan dan pemulihan pelanggaran hak cipta melalui penegakan hukum secara (1) perdata berupa gugatan (a) ganti kerugian, (b) penghentian perbuatan pelanggaran, (c) penyitaan barang hasil pelanggaran untuk dimusnahkan. (2) pidana berupa tuntutan (a) pidana penjara maksimal 7 tahun penjara, dan atau (b) pidana denda maksimum sebesar Rp. 5 miliar, (c) perampasan barang yang digunakan melakukan kejahatan untuk dimusnahkan, (3) administratif berupa tindakan (a) pembekuan/pencabutan SIUP, (b) pembayaran pajak/bea masuk yang tidak dilunasi, (c) re-ekspor barang-barang hasil pelanggaran.
Selama ini, pelanggaran hak cipta termasuk dalam delik aduan (klachtdefict). Artinya, penyelidikan dan penyidikan oleh pihak kepolisian bersama instansi terkait atau tuntutan sanksi pidana dapat dilakukan oleh penuntut umum atas dasar pengaduan dari plhak-pihak yang dirugikan, baik para pencipta, pemegang izin, warga masyarakat sebagai konsumen ataupun negara sebagai penenima pajak. Delik aduan ini adalah dalam bentuk delik aduan mutlak (absolute klachidelict), yakni peristiwa pidana yang hanya dapat dituntut bila ada pengaduan.
Berlakunya UU No. 19 Tahun 2002, pelanggaran hak cipta menjadi delik biasa yang dapat diancam pidana bagi siapa saja yang melanggarnya. Adanya perubahan ini sebagai upaya pemerintah mengajak masyarakat untuk menghargai dan menghormati HKI mengingat masalah pelanggaran hak cipta telah menjadi bisnis ilegal yang merugikan para pencipta dan pemasukan pajak/devisa negara di samping masyarakat internasional menuding Indonesia sebagai “surga”
bagi para pembajak.
Aparat penyidik dalam pelanggaran hak cipta ditentukan berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 dan peraturan perundang-undangan lain. Dalam Pasal 1 butir 1 UU No. 8 Tahun 1981 tercantum dua penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia dan atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu. Mereka bertugas bersama aparat negara tertentu yang diberi kewenangan oleh undang-undang. Untuk menyelidiki apakah sudah terjadi suatu pelanggaran hak cipta, maka Pasal 71 UU No. 19 Tahun 2002 mengatur tentang penyidik yang dapat melakukan penegakan hukum. Menurut ketentuan pasal tersebut, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Departemen Kehakiman Republik Indonesia dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik seperti dimaksudkan dalam Pasal 6 ayat 1 b UU No. 8 Tahun 1981, yakni “pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk bertugas melakukan penyidikan tindak pidana di bidang hak cipta. Mereka ini dapat bertugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan wewenang tertentu.
Penyidik dalam Pasal 71 ayat (2) mempunyai wewenang melakukan tindakan berupa (a) pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta, (b) pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang hak cipta, (c) meminta keterangan dari pihak atau badan hukum sehubungan tindak pidana di bidang hak cipta, (d) pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang hak cipta, (e) pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lainnya, (f) melakukan penyitaan bersama pihak kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang hak cipta, dan (g) meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang hak cipta.
Penyidikan oleh PPNS dilakukan setelah ada surat perintah tugas penyidikan, yaitu untuk PPNS pada:
(1) tingkat kantor wilayah, surat perintah diberikan oleh Kepala Departemen Kehakiman setempat. Kewenangan tugas PPNS tingkat kantor wilayah hanya meliputi wilayah hukum kantor bersangkutan, dan
(2) tingkat Direktorat Hak Cipta (nasional), surat perintah diberikan pihak Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Kewenangan tugas penyidik tingkat ini meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Pembagian tugas ini seyogianya dapat mempercepat penanggulangan pelanggaran hak cipta mengingat era globalisasi dengan teknologi semakin canggih, maka dunia saat ini tanpa ada tapal batas yang jelas (borderless world). Selama ini, teknologi baru dengan mudah masuk ke Indonesia tanpa mampu dilakukan tindakan filterisasi dengan ketat oleh pemerintah. Pemanfaatan teknologi informasi seperti intemet menjadi salah satu medium bagi para pelaku kejahatan untuk melakukan pelanggaran hak cipta dengan sifatnya yang mondial, internasional dan melampaui batas atau kedaulatan suatu negara. Cross boundary countries kini menjadi motif yang menarik para penjahat digital.
Dalam melaksanakan tugasnya, PPNS mempunyai kewajiban dalam empat hal, yaitu:
(1) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang dimulainya penyidikan;
(2) memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara tentang perkembangan penyidikan yang dilakukan;
(3) meminta petunjuk dan bantuan penyidikan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan kebutuhan, dan
(4) memberitahukan kepada Penuntut Umum dan Penyidik Pejabat Polisi Negara apabila penyidikan akan dihentikan karena alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum. Keempat kewajiban dari PPNS itu saling terkait dan terukur dalam rangka untuk mengungkapkan suatu pelanggaran hak cipta di tanah air.
Semua kewajiban di atas bagi PPNS menjadi dasar untuk melaksanakan tugasnya dalam melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran hak cipta. Akan tetapi PPNS tidak diberi kewajiban atau wewenang untuk melakukan penangkapan dan atau penahanan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1988.
Tujuannya adalah agar tugas PPNS tidak tumpang tindih dengan tugas penegak hukum kepolisian dalam rangka penyidikan pelanggaran hak cipta.
Penyitaan barang bukti yang dilakukan oleh PPNS wajib didasar-kan pada surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri di tempat terjadinya tindak pidana atau di tempat yang banyak ditemukan barang bukti pelanggaran hak cipta. Permohonan surat izin penyitaan harus diketahui oleh Kepala Kantor Departemen Kehakiman setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara.
Berdasarkan ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, Penyidik Pejabat Polisi Negara dalam penyidikan hak cipta lebih diutamakan atau dikedepankan pada penegakan hukum hak cipta, sedangkan PPNS mempunyai kewenangan menyidik hanya karena lingkup tugas serta tanggung jawabnya meliputi pada pembinaan terhadap hak cipta. Oleh karena itu, penyampaian hasil penyidikan oleh Penyidik Pelanggaran Hak Cipta kepada Penuntut Umum setelah memperoleh petunjuk yang diperlukan harus melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara sesuai dengan ketentuan Pasal 107 UU No. 8 Tahun 1981.
Perlu diingat, walaupun mempunyai kewenangan menyidik dan menyita barang bukti, PPNS tidak boleh melakukan penangkapan dan/atau penahanan, kecuali tertangkap tangan (caught in the act). Dalam hal ini, PPNS boleh menangkap tersangka tanpa surat perintah selama 1 (satu) hari dan segera menyerahkannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara yang lebih berwenang. Ketentuan demikian harus ditaati penyidik PPNS dalam pekedaannya mengusut pelanggaran hak cipta supaya tidak ada tuduhan “pelanggaran hak asasi manusia” pada hak milik seseorang. Pelanggaran hak cipta tidak semata-mata menonjolkan pada hak perdata pencipta saja, juga pada kepentingan umum dan hak hak asasi orang yang dituduh telah melakukan pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Adanya peristiwa pelanggaran hak cipta merupakan realitas sosial yang menjadi masalah bagi hukum perdata, pidana dan administrasi. Pelanggaran hukum ini menjadi tugas aparat penegak hukum menanggulanginya bekerja sama dengan instansi terkait mengingat setiap pelanggaran hak cipta membawa kerugian yang sangat besar dalam pengembangan dan kemajuan i1mu pengetahuan, teknologi, seni dan sastra dan secara ekonomis bagi para pencipta, pemegang ijin, masyarakat konsumen dan pendapatan pajak negara.
Pemberian sanksi hukum bagi para pelanggar hak cipta merupakan upaya untuk mencegah dan mengurangi meningkatnya kasus-kasus pelanggaran atas HKI, terutama di Indonesia masih membutuhkan peningkatan apresiasi masyarakat terhadap HKI. Perbuatan menjiplak, mengkopi, meniru ataupun meng-gelapkan hasil karya orang lain tanpa izin atau sesuai prosedur hukum akan tetap menjadi “pekerjaan rumah” dari petugas penegak hukum dalam melindungi hak-hak para pencipta yang diatur dalam UU Hak Cipta. Akibat pelanggaran itu, selain merugikan kepentingan para pencipta atau pemegang izin, juga masyarakat konsumen dan negara dalam penerimaan pajak/devisa.
Pelanggaran hak cipta dapat dikategorikan sebagai kejahatan ekonomi (economic crime) dan kejahatan bisnis (business crime). Di sini amat dibutuhkan fungsionalisasi hukum pidana, yakni upaya untuk membuat hukum pidana dapat berfungsi, beroperasi atau bekerja dan terwujud secara konkret yang melibatkan tiga faktor, yaitu faktor perundang-undangan, aparat/badan penegak hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Fungsionalisasi hukum pidana didasarkan pada tujuan ekonomi dan penegakan hukum, yakni untuk mengurangi seminimal mungkin biaya sosial (social cost) yang merugikan bagi para korban akibat dari pelanggaran hukum tersebut. Robert Cooter dan Thomas Ulen menegaskan dengan ungkapan, criminal law should minimize the social cost of crime, which equals the sum of the harm it causes and the costs of preventing it. Artinya, hukum pidana harus membayar biaya sosial kejahatan minimal sama jumlahnya dari pelanggaran yang disebabkan pelanggaran itu dan biaya pencegahannya.
Biaya sosial yang harus dikeluarkan dalam rangka fungsionalisasi hukum atas setiap pelanggaran hak cipta dapat berkurangnya apresiasi masyarakat terhadap makna perlindungan hukum mana kala penegakan hukum vang dilakukan oleh aparat penegak hukum tidak mencapai sasarannya untuk mengurangi kuantitas dan kualitas pelanggaran hukum terhadap hak cipta.
Biaya sosial tersebut terutama akan dirasakan oleh para pencipta, karena merasakan tidak terlindungi hak-haknya sebagai penemu atau pencipta. Hal ini akan merugikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra karena para pencipta tidak bergairah lagi untuk meningkatkan karya ciptanya.

RUU tentang Informasi & Transaksi Elektronik

Pada penulisan ini yang berjudul RUU tentang Imformasi dan Transaksi Elektronik bersumber dari Browsing di Internet, kemudian saya rangkum secara singkat, jelas dan mudah dimengerti di bawah ini adalah penulisan yang saya buat.
RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR ..…..…TAHUN ….……
TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat;
b. bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sebagai jawaban atas perkembangan yang terjadi baik di tingkat regional maupun internasional;
c. bahwa perkembangan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru;
d. bahwa kegiatan pemanfaatan teknologi informasi perlu terus dikembangkan tanpa mengesampingkan persatuan dan kesatuan nasional dan penegakan hukum secara adil, sehingga pelanggaran-pelanggaran yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dapat dihindari melalui penerapan keseragaman asas dan peraturan perundang-undangan;
e. bahwa pemanfaatan teknologi informasi khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik mempunyai peranan penting dalam meningkatkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka menghadapi globalisasi sehingga perlu dilakukan langkah-langkah konkret untuk mengarahkan pemanfaatan teknologi informasi agar benar-benar mendukung pertumbuhan perekonomian nasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat;
f. bahwa pemerintah perlu memberikan dukungan terhadap pengembangan teknologi informasi khususnya pengelolaan informasi dan transaksi elektronik beserta infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga kegiatan pemanfaatan teknologi informasi dapat dilakukan secara aman dengan menekan akibat-akibat negatifnya serendah mungkin;
g. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, perlu ditetapkan Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Teknologi informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi.
2. Komputer adalah alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
3. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks, simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.
4. Sistem elektronik adalah sistem untuk mengumpulkan, mempersiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi elektronik.
5. Tanda tangan elektronik adalah informasi elektronik yang dilekatkan, memiliki hubungan langsung atau terasosiasi pada suatu informasi elektronik lain yang dibuat oleh penandatangan untuk menunjukkan identitas dan statusnya sebagai subyek hukum, termasuk dan tidak terbatas pada penggunaan infrastruktur kunci publik (tanda tangan digital), biometrik, kriptografi simetrik.
6. Sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukan status subyek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik.
7. Penandatangan adalah subyek hukum yang terasosiasikan dengan tanda tangan elektronik.
8. Lembaga sertifikasi keandalan (trustmark) adalah lembaga yang diberi kewenangan untuk melakukan audit dan mengeluarkan sertifikat keandalan atas pelaku usaha dan produk berkaitan dengan kegiatan perdagangan elektronik.
9. Penyelenggara sertifikasi elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik.
10. Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, atau media elektronik lainnya.
11. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh seseorang.
12. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
13. Badan usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
14. Dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.
15. Penerima adalah subyek hukum yang menerima suatu informasi elektronik dari pengirim.
16. Pengirim adalah subyek hukum yang mengirimkan informasi elektronik
17. Jaringan sistem elektronik adalah terhubungnya dua atau lebih sistem elektronik baik yang bersifat tertutup maupun yang bersifat terbuka.
18. Kontrak elektronik adalah perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.
19. Nama domain adalah alamat internet dari seseorang, perkumpulan, organisasi, atau badan usaha, yang dapat dilakukan untuk berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik, menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
20. Kode akses adalah angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media elektronik lainnya .
21. Penyelenggaraan sistem elektronik adalah pemanfaatan sistem elektronik oleh Pemerintah dan atau swasta.
22. Orang adalah orang perorangan baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing atau badan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Pasal 2
Undang-undang ini berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang ini, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia.
Pasal 3
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian hukum, manfaat, hati-hati, itikad baik, dan netral teknologi.
Pasal 4
Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk :
a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;
b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional;
c. efektifitas dan efisiensi pelayanan publik dengan memanfaatkan secara optimal teknologi informasi untuk tercapainya keadilan dan kepastian hukum;
d. memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuannya di bidang teknologi informasi secara bertanggung jawab dalam rangka menghadapi perkembangan teknologi informasi dunia.
INFORMASI ELEKTRONIK
Pasal 5
1) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik merupakan alat bukti yang sah dan memiliki akibat hukum yang sah.
2) Informasi elektronik dan atau hasil cetak dari informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
3) Informasi elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
4) Ketentuan mengenai informasi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. pembuatan dan pelaksanaan surat wasiat;
b. pembuatan dan pelaksanaan surat-surat terjadinya perkawinan dan putusnya perkawinan;
c. surat-surat berharga yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis;
d. perjanjian yang berkaitan dengan transaksi barang tidak bergerak;
e. dokumen-dokumen yang berkaitan dengan hak kepemilikan; dan
f. dokumen-dokumen lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku mengharuskan adanya pengesahan notaris atau pejabat yang berwenang.


Pasal 6
Dalam hal terdapat ketentuan hukum lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka informasi elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat dija¬min keutuhannya, dipertanggung¬jawabkan, diakses, dan ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
Pasal 7
Setiap orang yang menyatakan suatu hak, memper¬kuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan atas keberadaan suatu informasi elektronik harus memastikan bahwa informasi elektronik yang ada padanya berasal dari sistem elektronik terpercaya.
Pasal 8
(1) Kecuali diperjanjikan lain, waktu pengiriman suatu informasi elektronik ditentukan pada saat informasi elektronik telah dikirim dengan alamat yang benar oleh pengirim ke suatu sistem elektronik yang ditunjuk atau dipergunakan penerima dan telah memasuki sistem elektronik yang berada di luar kendali pengirim.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, waktu penerimaan suatu informasi elektronik ditentukan pada saat informasi elektronik memasuki sistem elektronik di bawah kendali penerima yang berhak.
(3) Dalam hal penerima telah menunjuk suatu sistem elektronik tertentu untuk meneri¬ma informasi elektronik, penerimaan terjadi pada saat informasi elektronik memasuki sistem elektronik yang ditunjuk.
(4) Dalam hal terdapat dua atau lebih sistem informasi yang digunakan dalam pengiriman ataupun penerimaan informasi elektronik, maka:
a. waktu pengiriman adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi pertama yang berada diluar kendali pengirim.
b. waktu penerimaan adalah ketika informasi elektronik memasuki sistem informasi terakhir yang berada dibawah kendali penerima.
Pasal 9
Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui media elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat-syarat kontrak, produsen dan produk yang ditawarkan.
Pasal 10
(1) Pemerintah atau masyarakat dapat membentuk lembaga sertifikasi keandalan yang fungsinya memberikan sertifikasi terhadap pelaku usaha dan produk yang ditawarkannya secara elektronik.
(2) Ketentuan mengenai pembentukan lembaga sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Data pembuatan tanda tangan terkait hanya kepada penanda tangan saja;
b. Data pembuatan tanda tangan elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa penandatangan;
c. Segala perubahan terhadap tanda tangan elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. Segala perubahan terhadap informasi elektronik yang terkait dengan tanda tangan elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa penandatangannya;
f. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap informasi elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
Pasal 12
(1) Setiap orang yang terlibat dalam tanda tangan elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas tanda tangan elektronik yang digunakannya;
(2) Pengamanan tanda tangan elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi :
a. sistem tidak dapat diakses oleh orang lain yang tidak berhak;
b. penandatangan harus waspada terhadap penggunaan tidak sah dari data pembuatan tanda tangan oleh orang lain;
c. penandatangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara tanda tangan elektronik ataupun cara-cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh penandatangan dianggap mempercayai tanda tangan elektronik atau kepada pihak pendukung layanan tanda tangan elektronik jika:
1. Penandatangan mengetahui bahwa data pembuatan tanda tangan telah dibobol; atau
2. Keadaan yang diketahui oleh penandatangan dapat menimbulkan resiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan tanda tangan;
d. dalam hal sebuah sertifikat digunakan untuk mendukung tanda tangan elektronik, memastikan kebenaran dan keutuhan dari semua informasi yang disediakan penandatangan yang terkait dengan sertifikat.
(3) Setiap orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

Pasal 13
(1) Setiap orang berhak menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik untuk tanda tangan elektronik yang dibuat dalam bentuk tanda tangan digital.
(2) Penyelenggara sertifikasi elektronik harus memastikan keterkaitan suatu tanda tangan digital dengan pemilik tanda tangan digital yang bersangkutan.
(3) Penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia harus berbadan hukum Indonesia dan beroperasi di Indonesia.
Pasal 14
(1) Penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 wajib menyediakan informasi yang sepatutnya kepada para pengguna jasanya yang meliputi :
a. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penandatangan;
b. Hal-hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data pembuatan tanda tangan elektronik;
c. Hal-hal yang dapat menunjukkan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik diatur dengan Peraturan Pemerintah.
PENYELENGGARAAN SISTEM ELEKTRONIK
Pasal 15
(1) Informasi dan transaksi elektronik diselenggarakan oleh penyelenggara sistem elektronik secara andal, aman, dan beroperasi sebagaimana mestinya.
(2) Penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sistem elektronik yang diselenggarakannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan adanya pihak tertentu yang melakukan tindakan sehingga sistem elektronik sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Pasal 16
(1) Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap penyelenggara sistem elektronik harus mengoperasikan sistem elektronik yang memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
a. dapat menampilkan kembali informasi elektronik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem elektronik yang telah berlangsung;
b. dapat melindungi keotentikan, integritas, kerahasiaan, ketersediaan, dan keteraksesan dari informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
c. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
d. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
e. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan pertanggungjawaban prosedur atau petunjuk tersebut;
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara¬an sistem elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.



TRANSAKSI ELEKTRONIK
Pasal 17
(1) Penyelenggaraan transaksi elektronik dapat dilakukan baik dalam lingkup publik maupun privat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik yang bersifat khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
(1) Transaksi elektronik yang dituangkan dalam kontrak elektronik mengikat para pihak.
(2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi transaksi elektronik internasional yang dibuatnya.
(3) Apabila para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam transaksi elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasional.
(4) Para pihak memiliki kewenangan untuk menetapkan forum pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi elektronik.
(5) Apabila para pihak tidak melakukan pilihan forum sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau lembaga penyelesaian sengketa alternatif yang berwenang menangani sengketa yang mungkin timbul dari transaksi tersebut, didasarkan pada asas-asas Hukum Perdata Internasional.
Pasal 19
Para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.

Pasal 20
(1) Kecuali ditentukan lain oleh para pihak transaksi elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim pengirim telah diterima dan disetujui penerima.
(2) Persetujuan atas penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik.
Pasal 21
(1) Pengirim maupun penerima dapat melakukan sendiri transaksi elektronik, atau melalui pihak yang dikuasakan olehnya atau melalui Agen Elektronik.
(2) Kecuali diperjanjikan lain, pihak yang bertanggung jawab atas segala akibat hukum dalam pelaksanaan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur sebagai berikut:
a. apabila dilakukan sendiri, menjadi tanggung jawab para pihak yang bertransaksi;
b. apabila dilakukan melalui pemberian kuasa, menjadi tanggung jawab pemberi kuasa;
c. apabila dilakukan melalui Agen Elektronik, menjadi tanggung jawab Penyelenggara Agen Elektronik.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c tidak berlaku jika dapat dibuktikan terdapat pihak tertentu yang melakukan tindakan secara ilegal yang mengakibatkan Agen Elektronik dimaksud tidak beroperasi sebagaimana mestinya.
Pasal 22
(1) Penyelenggara Agen Elektronik tertentu wajib menyediakan fitur pada Agen Elektronik yang dioperasikannya yang memungkinkan penggunanya melakukan perubahan informasi yang masih dalam proses transaksi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggara agen elektronik tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
NAMA DOMAIN, HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DAN PERLINDUNGAN HAK PRIBADI (PRIVASI)
Pasal 23
(1) Setiap orang berhak memiliki nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama.
(2) Pemilikan dan penggunaan nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, dan tidak melanggar hak orang lain.
(3) Setiap orang yang dirugikan karena penggunaan nama domain secara tanpa hak oleh orang lain berhak mengajukan gugatan pembatalan nama domain dimaksud.
(4) Pengelola nama domain dapat dibentuk baik oleh masyarakat maupun Pemerintah.
(5) Pengelola nama domain yang berada diluar wilayah Indonesia dan nama domain yang diregistrasinya diakui keberadaannya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelola nama domain sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 24
Informasi elektronik yang disusun¬ menjadi karya intelektual, desain situs internet dan karya-karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual, berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 25
Penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data tentang hak pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan dari orang yang bersangkutan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
PERBUATAN YANG DILARANG
Pasal 26
Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi dan atau pornoaksi melalui komputer atau sistem elektronik.
Pasal 27
Setiap orang dilarang:
(1) Menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi dalam komputer dan atau sistem elektronik.
(2) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi milik pemerintah yang karena statusnya harus dirahasiakan atau dilindungi.
(3) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik dengan cara apapun tanpa hak, untuk memperoleh, mengubah, merusak, atau menghilangkan informasi pertahanan nasional atau hubungan internasional yang dapat menyebabkan gangguan atau bahaya terhadap Negara dan atau hubungan dengan subyek Hukum Internasional.



Pasal 28
Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang secara tanpa hak yang menyebabkan transmisi dari program, informasi, kode atau perintah, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi Negara menjadi rusak.
Pasal 29
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, baik dari dalam maupun luar negeri untuk memperoleh informasi dari komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara.
Pasal 30
Setiap orang dilarang:
(1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik milik pemerintah yang dilindungi secara tanpa hak;
(2) menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh negara, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
(3) menggunakan dan atau mengakses tanpa hak atau melampaui wewenangnya, komputer dan atau sistem elektronik yang dilindungi oleh masyarakat, yang mengakibatkan komputer dan atau sistem elektronik tersebut menjadi rusak.
(4) mempengaruhi atau mengakibatkan terganggunya komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan oleh pemerintah.


Pasal 31
Setiap orang dilarang:
(1) menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya untuk memperoleh keuntungan atau memperoleh informasi keuangan dari Bank Sentral, lembaga perbankan atau lembaga keuangan, penerbit kartu kredit, atau kartu pembayaran atau yang mengandung data laporan nasabahnya.
(2) Menggunakan dan atau mengakses dengan cara apapun kartu kredit atau kartu pembayaran milik orang lain secara tanpa hak dalam transaksi elektronik untuk memperoleh keuntungan
Pasal 32
Setiap orang dilarang menggunakan dan atau mengakses komputer dan atau sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan yang dilindungi secara tanpa hak atau melampaui wewenangnya, untuk disalah gunakan, dan atau untuk mendapatkan keuntungan daripadanya.
Pasal 33
Setiap orang dilarang:
(1) menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan yang akibatnya dapat mempengaruhi sistem elektronik Bank Sentral, lembaga perbankan dan atau lembaga keuangan, serta perniagaan di dalam dan luar negeri.
(2) Menyebarkan, memperdagangkan, dan atau memanfaatkan kode akses (password) atau informasi yang serupa dengan hal tersebut, yang dapat digunakan menerobos komputer dan atau sistem elektronik dengan tujuan menyalahgunakan komputer dan atau sistem elektronik yang digunakan atau dilindungi oleh pemerintah.
Pasal 34
Setiap orang dilarang melakukan perbuatan dalam rangka hubungan internasional dengan maksud merusak komputer atau sistem elektronik lainnya yang dilindungi negara dan berada di wilayah yurisdiksi Indonesia.
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 35
Masyarakat dapat mengajukan gugatan secara perwakilan terhadap pihak yang menggunakan teknologi informasi yang berakibat merugikan masyarakat.
Pasal 36
(1) Gugatan perdata dilakukan sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
(2) Selain penyelesaian gugatan perdata sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) para pihak dapat menyelesaikan sengketa melalui lembaga penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PERAN PEMERINTAH
Pasal 37
(1) Pemerintah memfasilitasi pemanfaatan informasi dan transaksi elektronik dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
(3A) Pemerintah menetapkan instansi atau institusi yang memiliki data elektronik strategis yang wajib dilindungi.
Penjelasan : data elektronik strategis yang wajib dilindungi antara lain : data perbankan, data perpajakan, data pertanahan dan data kependudukan.
(3B) Instansi atau Institusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3A) wajib membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya serta menghubungkannya ke Pusat Data tertentu untuk kepentingan pengamanan data tersebut.
(3C) Instansi atau institusi lain selain diatur pasal (3A) membuat dokumen elektronik dan backup elektroniknya sesuai dengan keperluan perlindungan data yang dimilikinya
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran pemerintah dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan (3) diatur dengan Peraturan Presiden
PERAN MASYARAKAT
Pasal 38.
(1) Masyarakat berperan meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi melalui penggunaan dan penyelenggaraan informasi elektronik serta transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselenggarakan oleh lembaga yang dibentuk oleh masyarakat.
(3) Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
.

PENYIDIKAN, PENUNTUTAN DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 39
Penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dan ketentuan dalam undang-undang ini.
Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang informasi dan transaksi elektronik diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang informasi dan transaksi elektronik.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang teknologi informasi;
b. memanggil orang untuk didengar dan atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
c. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
d. melakukan pemeriksaan terhadap orang dan atau badan usaha yang diduga melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
e. melakukan pemeriksaan alat dan atau sarana yang berkaitan dengan kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
f. melakukan penggeledahan terhadap tempat tertentu yang diduga digunakan sebagai tempat untuk melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
g. melakukan penyegelan dan penyitaan terhadap alat dan atau sarana kegiatan teknologi informasi yang diduga digunakan secara menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
h. meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi;
i. mengadakan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang teknologi informasi;
(3) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memberitahukan penyidikan yang sedang dilaporkannya dan melaporkan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 41
Alat bukti pemeriksaan dalam undang-undang ini meliputi:
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa Dokumen Elektronik dan Informasi Elektronik.
KETENTUAN PIDANA
Pasal 42
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.1.000.000.000,-. (satu milyar rupiah).
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000.,- (satu milyar rupiah).

Pasal 43
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000.,- (seratus juta rupiah).
Pasal 44
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena tindak pidana.
Pasal 45
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (2), Pasal 30 ayat (3), Pasal 30 ayat (4), Pasal 33 ayat (2), atau Pasal 34, dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).
Pasal 46
Setiap orang yang melanggar Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah).
Pasal 47
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 32, atau Pasal 33 ayat (1), pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000.,- (dua milyar rupiah).
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 48
Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan perundang-undangan dan kelembagaan-kelembagaan yang berhubungan dengan pemanfaatan teknologi informasi yang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 49
(1) Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

(2) Peraturan Pemerintah harus sudah ditetapkan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah diundangkannya Undang-undang ini.
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Pengertian dalam undang-undang :
1. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
2. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya.
3. Teknologi Informasi adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.
4. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
5. Sistem Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan Informasi Elektronik.
6. Penyelenggaraan Sistem Elektronik adalah pemanfaatan Sistem Elektronik oleh penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat.
7. Jaringan Sistem Elektronik adalah terhubungnya dua Sistem Elektronik atau lebih, yang bersifat tertutup ataupun terbuka.
8. Agen Elektronik adalah perangkat dari suatu Sistem Elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh Orang.
9. Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.
10. Penyelenggara Sertifikasi Elektronik adalah badan hukum yang berfungsi sebagai pihak yang layak dipercaya, yang memberikan dan mengaudit Sertifikat Elektronik.
11. Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah lembaga independen yang dibentuk oleh profesional yang diakui, disahkan, dan diawasi oleh Pemerintah dengan kewenangan mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam Transaksi Elektronik.
12. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.
13. Penanda Tangan adalah subjek hukum yang terasosiasikan atau terkait dengan Tanda Tangan Elektronik.
14. Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
15. Akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan Sistem Elektronik yang berdiri sendiri atau dalam jaringan.
16. Kode Akses adalah angka, huruf, simbol, karakter lainnya atau kombinasi di antaranya, yang merupakan kunci untuk dapat mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik lainnya.
17. Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.
18. Pengirim adalah subjek hukum yang mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.
19. Penerima adalah subjek hukum yang menerima Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dari Pengirim.
20. Nama Domain adalah alamat internet penyelenggara negara, Orang, Badan Usaha, dan/atau masyarakat, yang dapat digunakan dalam berkomunikasi melalui internet, yang berupa kode atau susunan karakter yang bersifat unik untuk menunjukkan lokasi tertentu dalam internet.
21. Orang adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun badan hukum.
22. Badan Usaha adalah perusahaan perseorangan atau perusahaan persekutuan, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
23. Pemerintah adalah Menteri atau pejabat lainnya yang ditunjuk oleh Presiden.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet. UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Penyusunan materi UUITE tidak terlepas dari dua naskah akademis yang disusun oleh dua institusi pendidikan yakni Unpad dan UI. Tim Unpad ditunjuk oleh Departemen Komunikasi dan Informasi sedangkan Tim UI oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Pada penyusunannya, Tim Unpad bekerjasama dengan para pakar di ITB yang kemudian menamai naskah akademisnya dengan RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU PTI). Sedangkan Tim UI menamai naskah akademisnya dengan RUU Transaksi Elektronik.
Kedua naskah akademis tersebut pada akhirnya digabung dan disesuaikan kembali oleh Tim yang dipimpin Prof. Ahmad M Ramli SH (atas nama pemerintah), sehingga namanya menjadi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana disahkan oleh DPR.
Ini merupakan URL sumber dari penulisan saya:
• http://cyberlaw.wordpress.com/2007/04/06/ruu-informasi-dan-transaksi-elektronik/
• http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik